“BALA” dan LABA Corona bagi Industri (bagian 2)

Penambahan dana yang senilai 150 triliun Rupiah tersebut dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Termasuk juga untuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta  pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan non-fiskal, termasuk untuk menjaga daya beli masyarakat.

Kebijakan fiskal yang ditempuh di antaranya adalah  pajak penghasilan (Pph) pasal 21, sebanyak 100 persen ditanggung oleh pemerintah untuk pegawai industri manufaktur dengan penghasilan maksimum 200 juta rupiah (total nilainya mencapai 8,6 triliun rupiah), pembebasan Pph Impor pasal 22 untuk wajib pajak (WP) KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) termasuk KITE IKM (total nilainya 8,15 triliun rupiah),  pengurangan Pph pasal 25 sebesar 30 persen kepada 19 sektor tertentu untuk WP KITE dan KITE IKM (total nilainya 4,2 triliun rupiah),  serta  percepatan restitusi PPN bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM guna untuk menjaga likuiditas pelaku usaha (totalnya senilai 1,97 triliun rupiah).

Bacaan Lainnya

Untuk kebijakan non-fiskal yang dilakukan pemerintah terhadap industri di antaranya seperti penyederhanaan & pengurangan Lartas (Larangan Terbatas) ekspor dan impor komoditas tertentu, serta percepatan pelayanan ekspor dan impor. Kebijakan moneter yang ditempuh pemerintah Indonesia di antaranya adalah penurunan suku  bunga, keringanan pembayaran kredit bagi pekerja informal dan pelaku UMKM, serta beberapa kebijakan di sektor perbankan dan industri perusahaan pembiayaan.

Kebijakan lainnya yang dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat kurang mampu di antaranya adalah pembebasan tagihan listrik selama tiga bulan untuk pelanggan listrik rumah tangga dengan daya 450 VA, dan diskon 50% bagi pelanggan rumah tangga daya 900 VA. Bahkan untuk pelaku usaha kecil, juga diberikan keringanan berupa pembebasan pembayaran atau gratis listrik selama 6 (enam) bulan bagi pelanggan bisnis skala kecil (B1) dan industri skala Kecil (I1) yang memiliki sambungan daya 450 VA (volt ampere).

“Bala”

Meski demikian, upaya pemerintah tersebut tidak serta merta dapat mengatasi dampak Covid-19 secara memadai, mengingat pandemi Covid-19 masih terus berlangsung eskalatif hingga waktu yang belum dapat ditentukan. Hampir tanpa kepastian hingga kapan musibah massal global ini akan berakhir sehingga berbagai industri berpotensi mengalami tekanan kinerja yang relatif berat.

Banyak perusahaan terancam mengalami insolvensi: kewajiban melebihi aset

Jika pandemi Covid-19 ini berlangsung lama, maka ekonomi berpotensi besar sangat tertekan, sehingga ancaman resesi atau krisis ekonomi yang berat dapat terjadi. Oleh karena itu, “badai” Covid-19 ini dapat menjadi “bala” yang dapat memukul keras banyak industri dengan risiko dapat tertekan melemah, tidak dapat membayar kewajiban atau mengalami insolvensi (hutang melebihi harta), sehingga berpotensi jatuh atau bangkrut bagi sebagian pelaku usahanya.

“Bala”, yang juga dapat diartikan sebagai malapetaka, musibah, bencana, atau sebuah kemalangan serius yang secara tiba-tiba terjadi sehingga membuat kondisi sangat tidak menguntungkan tanpa terprediksi atau terduga sebelumnya ini, dapat menimpa berbagai industri strategis, baik skala besar mupun UMKM (usaha menengah, kecil, dan mikro). Sektor korporasi atau usaha besar akan terganggu aktivitas ekonominya, baik di sektor jasa maupun manufaktur.

Di sektor jasa yang paling rentan terkena “bala” atau terganggu oleh dampak negatif dari Covid-19 pertama kali adalah di sektor pariwisata dan turunannya seperti akomodasi, termasuk perhotelan, travel, restoran, kuliner, cafe, tempat bermain, tempat hiburan, dan sejenisnya. Indusri jasa lainnya yang terdampak negatif relatif berat adalah  industri transportasi, MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition), perdagangan, perbankan (termasuk jasa keuangan), dan pendidikan. Di sektor manufaktur, secara umum akan mengalami kelesuan, termasuk  tekstil, otomotif, elektronika, konstruksi (termasuk real estate/properti dan gedung perkantoran).

PHK terjadi di berbagai industri: pengangguran membengkak

Terganggunya kegiatan usaha berbagai sektor tersebut akan menurunkan kinerja bisnis sehingga berpotensi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang serius, dan dapat mengarah pada risiko kebangkrutan.

Pos terkait