Ekonomi Indonesia 2020: Kuartal I Sangat Melambat, Berpotensi Makin Berat

Banyak Pabrik Padat Karya Tutup

Sumber: Badan Pusat Statis

NADINARASI.COM – BADAN Pusat Statistik (BPS), awal Mei ini mengumumkan pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia kuartal I 2020 yang hanya mencapai 2,97 persen  year-on-year (YoY). Pertumbuhan ini tidak hanya mengalami perlambatan relatif berat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (kuartal IV 2019) maupun terhadap kuartal yang sama tahun sebelumnya (kuartal I 2010), tapi juga merupakan pertumbuhan ekonomi kuartalan terendah dalam dua dekade terakhir ini (kuartal I 2000).

Kondisi ini diperkirakan masih akan bertambah berat dalam kuartal berikutnya setidaknya pada kuartal II 2020, mengingat pertumbuhan tersebut belum memperhitungkan dampak dari aktivitas ekonomi selama April-Juni, yang merupakan masa pandemi Covid-19 terberat dengan kelesuan aktivitas ekonomi yang cukup memprihatinkan. Konsumsi rumah tangga makin lemah, baik terkait dengan penurunan daya beli akibat lesunya aktivitas bisnis, berkurangnya lapangan pekerjaan, hingga maraknya pemutusan hubungan kerja oleh berbagai perusahaan di berbagai skala dan bidang usaha. Bahkan penghentian produksi, baik untuk sementara maupun penutupan selamanya, diperkirakan telah mencapai lebih dari 50 persen dari total kapasitas produksi, serta terganggunya distribusi barang karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai wilayah, telah menekan kegiatan ekonomi dalam berbagai bentuk.

Penyebab Melambat

Hal tersebut memberikan pengaruh besar pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Relatif banyak faktor penyebab lainnya dari melemah parahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2020 tersebut. Namun muara penyebabnya untuk saat ini, titik sentralnya berada pada keganasan pandemi Covid-19 yang menghantam dunia usaha dan kegiatan produktif masyarakat dalam kuartal tersebut. Penyebab umum setidaknya dapat ditelusuri pada variabel pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) itu sendiri, yang merupakan total output atau nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi dalam satu periode tertentu. Dilihat dari sisi pengeluaran, PDB terbentuk dari gabungan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (termasuk konsumsi LNPRT), Investasi (PMTB), Konsumsi Pemerintah, serta Ekspor Bersih (Ekspor dikurangi Impor) dari barang dan jasa.

Dari sisi Pengeluaran Konsumsi  rumah tangga (PKRT), jelas mengalami pelemahan akibat daya beli masyarakat yang turun tajam, sehingga mengurangi belanja aneka kebutuhan. Selain karena penurunan pendapatan akibat sepinya dunia usaha, pemotongan gaji, pengurangan jam kerja, melemahnya daya beli masyarakat tersebut juga ditekan pula oleh maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di berbagai jenis industri.

Kondisi tersebut juga tercermin pada angka pengeluaran konsumsi rumah tangga yang selama kuartal I 2020 hanya tumbuh 2,84 persen (y-o-y), jauh lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya (kuartal IV 2019) yang mencapai 4,97 persen, bahkan terjadi penurunan mencolok dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun sebelumnya (kuarta I 2019) yang mencapai 5,02 persen.

Penurunan konsumsi rumah tangga sangat besar pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi atau PDB. Pertumbuhan PDB selama ini paling besar bersumber dari  pertumbuhan konsumsi rumah tangga, bahkan dari sisi strukturnya, sebagian besar pertumbuhan PDB disumbang oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Hal tersebut menyebabkan relatif vitalnya peran konsumsi rumah tangga dalam pembentukan PDB,  sehingga jika mengalami penurunan akan berpengaruh besar pada penurunan pertumbuhan ekonomi/PDB. Untuk kuartal I 2020 misalnya, dari total pertumbuhan PDB sebesar 2,97 persen tersebut, Konsumsi Rumah Tangga menjadi sumber pertumbuhan sebesar 1,56 angka persentase atau lebih dari separuh (tepatnya 52,52%) dari total persentase pertumbuhan.

Melihat perbandingan nilai konsumsi rumah tangga untuk rentang periode year-on-year berdasarkan pengeluaran, maka konsumsi rumah tangga yang paling besar tertekan adalah pengeluaran untuk pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya, serta pengeluaran untuk transportasi dan komunikasi. Sedangkan untuk pengeluaran atau konsumsi untuk keperluan kesehatan dan pendidikan, memgalami pertumbuhan paling tinggi. Jika ditelusuri lebih mendalam lagi, penurunan konsumsi berdasarkan kelompok penjualannya, maka untuk konsumsi di bidang retail, yang mengalami kontraksi besar di antaranya adalah penjualan eceran untuk barang-barang seperti sandang; bahan bakar kendaraan; peralatan informasi dan telekomunikasi; serta barang budaya dan rekreasi. Sedangkan untuk penjualan wholesale atau penjualan oleh agen/distributor, konsumsi yang mengalami kontraksi relatif besar selama kuatal I 2020 (YoY) adalah penjualan mobil penumpang dan sepeda motor. Pengeluaran atau konsumsi di bidang transportasi yang menurun dalam kuartal I 2020 adalah pegeluaran untuk transportasi kereta api dan pesawat/udara, yang ditandai dengan pertumbuhan negatif atas jumlah penumpangnya.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Dari sisi Investasi, di tengah pandemi Covid-19 juga mengalami penurunan. Gairah usaha yang berkurang akibat terbatasnya berbagai akvitas produksi, menghambat pelaku usaha untuk berinvestasi dalam berbagai bentuk, seperti bangunan, barang modal, kendaraan, maupun  permesinan dan peralatan produksi lainnya. Aktivitas produksi yang diperkirakan lebih dari 50% berkurang selama pandemi Covid-19, baik berupa penghentian sementara, pengurangan jam kerja, maupun berhenti sama sekali, melatarbelakangi pelemahan investasi tersebut.

Perlambatan investasi ini juga tampak pada angka pertumbuhan PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) yang diumumkan oleh BPS, yang secara tahunan atau YoY (year-on-year), memperlihatkan pelemahan menjadi hanya 1,70 persen. Kontribusi PMTB sebagai sumber pertumbuhan PDB menempati urutan ke-2 setelah Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT). Pada Kuartal I 2020, PMTB berperan sebagai sumber pertumbuhan sebesar 0,56 angka persentase atau 18,85% dari total pertumbuhan PDB yang sebesar 2,97 persen tersebut.

Trend pertumbuhan PMTB dalam berapa tahun terakhir ini memang cenderung melemah, namun untuk Kuartal I 2020 ini merupakan pelemahan terdalam. Setidaknya dalam 2 (dua) tahun terakhir ini, pertumbuhan PMTB (YoY) terus melemah, dari 7,92 persen pada Kuartal I 2018, menjadi 5,03 persen pada Kuartal I 2019, dan 4,06 persen pada Kuartal IV 2019. Namun, kemudian melemah tajam pada Kuartal I 2020.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Pelemahan pertumbuhan PMTB terutama terjadi pada belanja permesinan dan peralatan produksi yang tumbuh negatif hampir -4 persen secara tahunan (YoY), tergelincir jauh dari pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya (Kuartal I 2019) yang mencapai 8,40 persen. Komponen lain yang melemah signifikan adalah pengeluaran untuk bangunan yang hanya tumbuh 2,76 persen pada kuartal I 2020, padahal pada kuartal yang sama tahun 2019 mampu tumbuh hingga 5,48 persen. Ini diperkirakan banyak pelaku usaha yang menunda investasinya, menunggu hingga kondisinya memungkinkan.

Dari sisi Konsumsi Pemerintah, juga memperlihatkan penurunan belanja yang pada kuartal I 2020 pertumbuhannya melambat menjadi 3,74%, dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 yang mampu mencapai 5,22 persen. Penurunan konsumsi terutama terjadi pada konsumsi kolektif (konsumsi untuk keperluan yang dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat tanpa kecuali seperti untuk pengeluaran dalam rangka pertahanan, atau untuk keamanan masyarakat oleh kepolisian dan lainnya) yang hanya tumbuh 2,08 persen (YoY), dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang menguat hingga 7,05 persen.

Dari sisi ekspor barang dan jasa, pandemi Covid-19 telah menimbulkan pukulan ganda baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri kemampuan produksi tidak hanya dihambat oleh keharusan “Jaga Jarak” guna memutus matarantai penularan Covid-19 sehingga kegiatan produksi terganggu. Di sisi lain, sebagian bahan baku yang harus diimpor juga mengalami kendala dari negara asal akibat pembatasan akses masuk dan keluar barang di sejumlah negara asal yang melakukan lockdown. Bahkan, Covid-19 yang melanda berbagai negara, juga menyulitkan kegiatan ekspor bagi produk Indonesia ke berbagai negara tujuan ekspor.

Kegiatan ekspor menurun

Ekspor barang, terutama barang minyak dan gas (Migas) mengalami penurunan makin dalam. Ekspor Migas dalam kuartal I 2020 pertumbuhannya melemah hingga menjadi -15,43 persen (YoY), lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya tumbuh negatif -7,82 persen. Melemahnya pertumbuhan ekspor Migas ini terutama akibat penurunan volume dan nilai ekspor Migas, terutama karena menurunnya harga minyak. Sedangkan penurunan ekspor jasa terutama dilatarbelakangi oleh merosotnya jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia terkait gangguan pandemi Covid-19. Kondisi ini menjadi bagian dari rendahnya ekspor bersih sebagai sumber pertumbuhan PDB yang hanya memberi andil 0,18 angka persentase atau hanya 6,06% dari total pertumbuhan PDB Kuartal I 2020.

Berpotensi Makin Berat

Keadaan tersebut diperkirakan akan makin berat dalam kuartal berikutnya, setidaknya dalam kuarta II dan III. Kuartal II 2020 bisa menjadi kondisi terparah jika melihat aktivitas ekonomi di lapangan yang merosot tajam, terutama akibat penerapan PSBB yang banyak dilakukan oleh berbagai Pemerintah Daerah yang banyak diperpanjang. Provinsi DKI Jakarta, yang merupakan pusat perputaran bisnis terbesar di Indonesia, melakukan PSBB hingga 2 (dua) tahap, yaitu pada periode 10 – 23 April 2020, dilanjutkan tahap kedua yang lebih lama lagi, yaitu periode 24 April – 22 Mei 2020. Di susul oleh PSBB wilayah-wilayah di sekitarnya, yaitu Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangeran, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, dan wilayah-wilayah lainnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Pemberlakukan PSBB di berbagai wilayah di pulau Jawa, akan sangat besar pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga bisa memerosotkan aktivitas ekonomi yang sebagian besar masih terpusat di wilayah Jawa. Selama pandemi Covid-19 (sampai dengan pertengahan Mei 2020) tidak hanya melumpuhkan industri jasa (mulai dari pariwisata, transportasi, hiburan, pameran, perdagangan, dan jasa lainnya), namun juga menekan sektor manufaktur yang disinyalir telah menurunkan kegiatan produksi barang hingga sekitar 60% sehingga tidak hanya dapat menurunkan daya beli atau konsumsi akibat banyaknya pengangguran, tapi juga menurunkan investasi oleh pelaku usaha. Padahal selama ini, konsumsi dan investasi (PMTB) merupakan dua komponen yang dominan atau sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi.

Pentingnya wilayah Jawa dalam pertumbuhan ekonomi juga terlihat pada angka kontribusi yang dominan, yaitu rata-rata sekitar 60%. Struktur perekonomian Indonesia secara spasial pada Triwulan I –2020 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 59,14 persen (atas dasar harga berlaku).

Sumber: Badan Pusat Statistik

Besarnya kontribusi wilayah Jawa dalam memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi tersebut, memberikan tekanan yang berat bagi perekonomian Indonesia sehingga akan melambat berat perputarannya. Oleh karena itu, pemberlakukan PSBB di kota-kota di pulau Jawa, diperkirakan akan sangat menekan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2020.

Selain karena faktor spasial terkait PSBB faktor lainnya seperti investasi dan ekspor juga menjadi permasalahan berat yang dapat kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2020 tertekan di bawah 1 persen, atau  mendekati 0 persen alias tidak bergerak, bahkan berpotensi terkontraksi.

Beberapa negara lain telah mengalami kontraksi pertumbuhan ekonominya karena memang telah mengalami pandemi Covid-19 lebih dulu. Pada waktu yang sama atau Kuartal I 2020 (Y-on-Y), beberapa negara pertumbuhan ekonominya terkontraksi, yaitu China tumbuh negatif hingga -6,8%, Singapura -2,2%, Jepang -0,7%, dan Amerika Serikat 0,3%.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Pandemi Covid-19 tidak hanya menghentikan sebagian besar aktivitas ekonomi, tapi juga menyulitkan pemenuhan bahan baku dan kegiatan ekspor sehingga akan berat dampaknya pada pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Keterbatasan bahan baku yang berkualitas di dalam negeri menjadi kendala yang dapat menjadi tekanan tambahan akibat kesulitan melakukan impor dari sejumlah negara asal yang  melakukan lockdown dan pembatasa akses keluar dan masuk barang.

Dari sisi ekspor, sejumlah negara mitra dagang atau negara tujuan ekspor tersebut juga yang dilanda pandemi Covid-19 seperti China, Amerika, dan Jepang, secara signifikan akan makin memerosotkan nilai ekspor. Oleh karena itu, berbagai variabel penentu pertumbuhan ekonomi, terutama dari konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor, akan melemah parah setidaknya dalam kuartal II 2020, sehingga pertumbuhan ekonomi akan terhambat berat, bahkan terancam tidak bergerak, dan berpotensi terkontraksi.

Upaya Menahan Pelemahan

Guna menahan agar pelemahan pertumbuhan ekonomi tidak berlangsung lama, maka pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah, setidaknya untuk meminimalisasi dampak pandemi Covid-19 yang hingga kini masih belum menampakkan titik terang kapan berakhirnya. Pertama, pemerintah harus menjalankan stimulus ekonomi yang telah dicadangkan dengan cepat dan tepat sasaran agar dampaknya segera dapat mengurangi tekanan pada perekonomian, baik dengan dalam menjaga daya beli masyarakat melalui berbagai skema perluasan jaring pengaman sosial, bantuan sembako, hingga bentuk lain dalam upaya menanggulangi dampak pandemi Covid-19. Stimulus pemerintah senilai 405,1 triliun rupiah untuk 4 (empat) sasaran (yaitu untuk perluasan jaring pengaman sosial senilai 110 triliun rupiah;  untuk program pemulihan ekonomi akibat Covid-19 senilai 150 triliun rupiah; untuk insentif tenaga medis dan penanganan Covid-19 senilai 75 triliun rupiah, serta untuk dukungan industri berupa pajak dan bea ditanggung pemerintah serta stimulus KUR senilai 70,1 trilun rupiah; harus mampu meminimalisasi dampak buruk terhadap perekonomian sehingga pelemahan ekonomi dapat ditahan semaksimal mungkin.

Sumber: KADIN (Kamar Dagang dan Industri)

Kedua, untuk memperkuat daya tahan hidup masyarakat di tengah pandemi Covid-19 sehingga daya beli masyarakat tidak turun tajam, hendaknya semua Pemerintah Daerah (Pemda) di berbagai lapisan (tingkat provinsi mau Kabupaten/Kota) juga memberikan stimulus ekonomi atau bantuan sosial lainnya bagi masyarakatnya melalui APBD-nya secara maksimal. Jika Pemda dapat memberikan stimulus yang maksimal, maka total stimulus yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemda tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tidak mustahil total stimulus ekonomi di Indonesia bisa mencapai dua kali lipat stimulus dari Pemerintah Pusat. Dengan stimulus yang maksimal dari Pemda, diharapkan tidak hanya turut  memperkuat daya beli masyarakat, tapi juga daya tahan kesehatan masyarakat sehingga dapat bertahan hidup dengan layak sampai dengan aktivitas produktif dapat dilakukan kembali.

Ketiga, pemerintah perlu memberikan gambaran peta jalan untuk melakukan langkah-langkah  pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 secara bertahap dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Kegiatan produktif diharapkan dapat maksimal diaktifkan kembali secara terukur dan hati-hati, secara selektif memilih bidang usaha yang dapat diaktifkan dengan memperhatikan faktor keselematan sebagai prioritas teratas. Dengan demikian, pelemahan ekonomi diharapkan dapat ditahan untuk tidak makin parah.

Keempat adalah dari sisi dunia usaha, perlunya dijaga kecukupan likuiditas perbankan agar program restrukturisasi bagi perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19 dapat berjalan lancar. Dengan keberhasilan restrukturisasi, maka kesinambungan usaha di masa mendatang dapat terjaga untuk kembali mendorong aktivitas produksi, yang pada akhirnya juga akan mampu mendukung peningkatan daya beli melalui kebutuhan tenaga kerja serta meningkatkan ekspor sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Perlu dijaga kecukupan likuiditas perbankan

Kelima, perlunya menjaga rantai pasok global, terutama untuk mendapatkan bahan baku yang kompetitif, baik dari sisi harga maupun dari faktor kualitas. Terjaganya rantai pasok global, dapat memudahkan dunia usaha untuk mengatur strategi usahanya untuk menghasilkan produk yang berdaya saing, baik di tingkat lokal maupun global. Dengan demikian, selain dapat bersaing dengan produk jadi impor di dalam negeri, juga dapat memenangkan persaingan di pasar global.

Keenam, adalah menjaga pasar dalam negeri, setidaknya dengan mengendalikan keran impor secara terukur bagi produk —terutama produk jadi yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Selain dapat mengurangi impor yang pada akhirnya dapat menghemat devisa, juga dapat melindungi pelaku usaha di dalam negeri sehingga dapat mendorong permintaan tenaga kerja dan meningkatkan daya beli yang selanjutnya dapat mengangkat perekonomian nasional dengan pertumbuhan yang lebih tinggi.*(kusnadi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.