NADINARASI.COM – Pengantar: Artikel ini telah diterbitkan oleh Harian JAWA POS, pada edisi Sabtu Pahing, 14 Maret 1992
– Oleh Kusnadi –
SEJAK BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih) ditunjuk sebagai subjek dalam tata niaga cengkih, ia terus menjadi buah bibir dan diwarnai oleh situasi yang kontroversial. Mulai dari tudingan monopoli, pinjaman lunak, SKB Menkeu & Menperdag, sampai pada usulan pembakaran cengkih dan konversi lahan cengkih.
Keberadaaan cengkih sebagai “emas cokelat” di Indonesia boleh dikata mempunyai arti penting yang tak bisa dibilang sepele. Hal ini terbukti, jenis komoditi ini telah mampu memberi andil dalam pemberian kontribusi langsung terhadap berbagai kepentingan negara. Yakni, mulai dari kemampuan dalam menciptakan lapangan kerja, pemasukan kas negara lewat pita cukai, sampai pada kontribusi retribusi pada kas daerah. Maka wajar jika usul BPPC berupa pembakaran 50 persen cengkih petani dari panen tahun ini dan penciutan lahan cengkih 25 persen – 35 persen, cukup menyulut emosi pihak yang berkepentingan. Semua ini tentu karena cengkih mempunyai peran penting yang menyangkut pada kepentingan masyarakat banyak.
KESAN BURU-BURU
Rencana langkah BPPC guna mengatasi overstock cengkih dengan pembakaran dan konversi lahan petani baru-baru ini mempunyai kesan terlalu buru-buru dalam mengambil sikap. Kalau overstock tersebut baru akan habis setelah 2 tahun dikonsumsi produsen rokok, setidaknya BPPC mau bersabar sedikitnya satu atau dua tahun lagi untuk membuktikan kebenaran akan “menggunungnya” stok cengkih.
Mengapa harus bersabar? Karena produksi cengkih penuh dengan ketidakpastian. Produksi cengkih punya ciri yang spesifik, tidak seperti halnya dengan produk manufaktur. Bila produksi manufaktur dapat ditargetkan dengan pasti tanpak menimbulkan dampak pada masyarakat banyak, maka pruduksi cengkih tidak akan seperti itu. Selain panen cengkih yang sangat bergantung pada musim dan peka terhadap risiko kegagalan, juga sangat mungkin dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti hama, cuaca, dan peka terhadap berbagai risiko dan musibah yang tak terduga.
Jadi bila tahun sebelumnya cengkih mengalami panen besar, bisa jadi di luar dugaan tahun ini dan selanjutnya dapat anjlok karena berbagai sebab. Dengan demikian, tidak seharusnya tergesa-gesa ada usulan pembakaran cengkih dan penciutan lahan cengkih. Dampak dari usulan tersebut sangat berisiko tinggi, baik dari pihak petani cengkih maupun pada kestabilan produksi dan harga cengkih di masa mendatang.
Maka waktu dua tahun (sampai dengan stok cengkih habis dikonsumsi produsen rokok) bisa dipakai sebagai “masa tunggu” sambil melihat berhasil atau tidaknya panen cengkih yang penuh dengan ketidakpastian itu. Betapa sangat disayangkan, bila usul pembakaran cengkih dan penyempitan lahan cengkih nantinya terlanjur dilaksanakan, ternyata panen cengkih terus mengalami penurunan atau kegagalan sehingga sampai terjadi under supply. Akibatnya bisa menimbulkan masalah baru yang dapat menimpa tata niaga cengkih kembali. Dari kemungkinan inilah seharusnya langkah pembakaran dan konversi lahan cengkih tidak terburu-buru untuk diterapkan. Sambil memikirkan alternatif lain, tampaknya usul tersebut sebaiknya dapat ditinjau kembali. Dengan demikian, akan dapat ditemukan titik keseimbangan kesepakatan yang menyangkut pada kepentingan bannyak kalangan.
KERAWASAN SOSIAL
Alternatif untuk mengatasi tumpukan cengkih dengan pembakaran dan konversi lahan cengkih petani dapat menimbulkan kerawasan sosial. Langkah tersebut sebagian besar akan berdampak pada penderitaan petani cengkih, sebagai pihak yang dapat dikatakan menjadi korban. Selain petani harus merelakan hasil panennya dibakar, juga harus rela menunggu sampai tanaman pengganti cengkih dapat dipetik hasilnya.
Bagi petani cengkih, hasil cengkih adalah satu-satunya harapan bagi kelangsungan hidupnya. Maka panen besar cengkih harapan yang ditunggu-tunggu dan merupakan anugerah yang langka terjadi. Bila panen cengkih harus disambut dengan rencana pembakaran dan penciutan lahan berarti harus membabat sebagian tanaman cengkih, betapa sadisnya langkah itu.
Bila langkah tersebut benarditempuh, maka nasib petani cengkih akan lebih memprihatinkan lagi. Di sinilah dampaknya akan meluas, yaitu selain memancing timbulnya kerawanan sosial, juga tidak menutup kemungkinan akan merembet pada kerawanan politik. Langkah tersebut jelas merugikan masyarakat luas, mulai dari produsen (petani cengkih) sampai kepada konsumen dan matarantainya. Dari sisi kepentingan produsen pun langkah ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain menyimpang dari tujuan BPPC sebagai sang dewa penyelamat nasib petani cengkih, langkah ini jelas sangat menyinggung perasaan petani cengkih.
Berlimpahnya panen cengkih adalah suatu peristiwa istimewa yang ditunggu-tunggu oleh petani cengkih dengan jerih payah dan pengorbanan yang tidak bisa dibilang kecil. Kalau Tuhan memberikan imbalan bagi mereka (petani cengkih) atas jerih payahnya dan pengorbanan dengan panen raya, kenapa harus disambut dengan pembakaran? Seharusnya petani diberikan kesempatan untuk menikmati hasil jerih payahnya, perjuangan, dan pengorbanannya. Kalau ternyata dibakar separuh dan sebagian tanaman cengkihnya harus dibabat, tampaknya petani cengkih harus lebih kuat iman, tabah, dan sabar menghadapi semua ini.
NASIB PETANI CENGKIH
Agaknya sulit dimengerti kenapa langkah yang justeru akan banyak merugikan petani cengkih dipilih sebagai solusi alternatif untuk mengatasi overstock cengkih. Bukankah tujuan ditunjuknya BPPC sebagai subjek dalam tata niaga cengkih ini untuk menolong, menguntungkan, memperbaiki, serta menyelamatkan nasib petani cengkih. Maka kurang bisa menjamin lebih baiknya nasib petani cengkih di masa mendatang bila langkah ini ditempuh. Kecuali bila BPPC bersedia memberi ganti rugi atas pembakaran dan pembabatan pohon cengkih tersebut. Dengan demikian, setidak-tidaknya petani cengkih akan merasakan terperhatikan nasibnya.
Guna menyelamatkan nasib petani cengkih, sebaiknya sedapat mungkin langkah pembakaran dan penciutan lahan cengkih bisa dihindari. Yakni dengan tetap menyerap hasil hasil cengkih petani sambil memikirkan alternatif lain untuk mengatasi overstock cengkih nantinya. Apakah harus diekspor, atau diolah menjadi produk selain rokok? Sehingga dapat melambungkan harga cengkih Indonesia. Tidak ada salahnya kebijakan yang ada sekarang ini ditinjau kembali agar memungkinkan langkah ekspor cengkih pada saat-saat kondisi rawan seperti sekarang ini dapat dilakukan.
Kemudian untuk tujuan pengolahan cengkih menjadi produk lain, kini tampaknya minyak cengkih semakin bisa diambil sebagai alternatif yang positif. Di Jawa Timur misalnya, penduduk setempat dapat memanfaatkan cengkih mulai dari bunga, daun, dan batangnya untuk dapat disuling menjadi minyak. Ini terbukti dengan semakin maraknya pabrik penyulingan minyak cengkih di sana. Sebagai contoh di Kabupaten Trenggalek, dalam salah satu kecamatannya sudah terdapat sedikitnya 50 buah penyulingan minyak cengkih. Manfaatnya pun banyak. Selain bisa digunakan sebagai campuran produksi farmasi dan kosmetik, juga bisa digunakan sebagai bahan pewangi. Tampaknya langkah ini akan dapat menyelesaikan masalah lebih menyeluruh. Sebab minyak cengkih dapat diolah dari daun dan batangnya. Maka langkah ini rupanya akan lebih banyak menguntungkan petani cengkih, yakni selain daun dan batangnya dapat diolah, buah dan bunganya pun dapat dimanfaatkan.
Petani cengkih tentu akan lebih tertarik pada langkah ini daripada separuh hasil panen cengkihnya harus dibakar begitu saja dan sebagian tanaman cengkihnya harus dibabat tanpa imbalan. Daripada dibakar dan dibabat mubazir, tampaknya langkah tersebut (mengolah menjadi produk lain) akan lebih menghargai jerih payah dan pengorbanan petani cengkih, guna membantu, memperbaiki, dan menyelamatkan nasib petani.***