NADINARASI.COM – Pengantar: Artikel ini sudah dimuat di Koran “Merdeka” Jakarta, pada Sabtu Wage, 24 Agustus 1991/14 Safar 1412 H.
Oleh Kusnadi
BARANGKALI belum pernah terjadi di dunia ini, masalah perkelahian pelajar sampai sedemikian “gawat” sehingga membuat prihatin kepala negaranya. Sebagaimana diketahui, Presiden Soeharto beberapa waktu yang lalu mengungkapkan rasa keprihatinannya atas terjadinya perkelahian pelajar sekolah menengah di Jakarta dan selanjutnya Presiden minta agar masalah tersebut segera dapat diselesaikan (Kompas, 6 Agustus 1991). Persoalan perkelahian antar-siswa yang mengakibatkan ditutupnya 4 (empat) sekolah menengah di Jakarta Selatan awal Agustus yang lalu tersebut seolah menjadi puncak dari keprihatinan kita semua terhadap isyu perkelahian pelajar selama ini. Betapa tidak, puluhan pelajar menjadi korban dan tak terkecuali aparat keamanan serta fasilitas umum turut “amburadul” dibuatnya. Perkelahian pelajar saat ini, suka atau tidak suka, telah menjadi masalah nasional yang harus segera dicarikan jalan keluar.
Memang benar, telah sejak lama kita mendengar perkelahian pelajar yang sungguh menjengkelkan sehingga membuat kita semua sangat prihatin. Persoalannya tentu bukan ada baku–hantamnya pelajar itu semata, melainkan lebih dari itu, yakni akibat yang ditimbulkannya sangat serius karena telah mengarah pada tindak kriminal berupa perusakan fasilitas umum dan jatuhnya korban, baik dipihak pelajar, maupun aparat kepolisian yang sebelumnya telah dengan sungguh-sungguh berupaya secara persuasif.
Berbagai pandangan yang dikemukakan di media massa umumnya lebih banyak menyoroti akar permasalahan yang berada di balik persoalan perkelahian pelajar tersebut. Namun dari berbagai pandangan tersebut sepertinya “tidak berujung pangkal” dan kurang memberikan jawaban pemecahan atas persoalan perkelahian itu sendiri. Benar agaknya bahwa pemecahan atas permasalahan perkelahian pelajar tersebut tentu bukan hal yang mudah, karena berdasarkan ungkapan pengamatan para pakar pendidikan, “penyulut” masalah tersebut telah membaur dengan persoalan sosial-psikologis yang teramat kompleks. Para pakar pendidikan dan kebudayaan mengungkapkan analisisnya bahwa menjalarnya keberingasan anak sekolah terutama di kota-kota besar muncul akibat adanya krisis otoritas dan krisis kewibawaan yang melanda Indonesia (Suara Karya, 7 Agustus 1991).
Sebenarnya ada beberapa alternatif pemecahan konkrit yang patut diketengahkan agar persoalah “budaya” segelintir pelajar ibukota ini tidak menjalar lebih luas. Sebelum melangkah kepada alternatif pemecahan, ada baiknya kita mengamati beberapa pra–fenomena perkelahian massal (tawuran) yang perlu mendapatkan perhatian kita semua, yaitu tentang apa saja yang sebenarnya menjadi persoalan yang melatarbelakangi perkelahian pelajar, khususnya di Ibukota. Pengamatan ini sekaligus sebagai argumen penulis dalam menawarkan beberapa alternatif bagi pemecahan masalah tesebut.
Soal Sepele
Perkelahian massal yang dilakukan oleh sekelompok pelajar di Indonesia (baca: Jakarta) nampaknya sudah sejak lama “membudaya”. Faktor penyebabnya bisa macam-macam dan lebih banyak soal-soal “sepele: dari mulai soal “cewek”, ejek mengejek sepulang sekolah, sampai kepada kericuhan pada pertandingan olah raga antarsekolah.
Jika kita perhatikan jam-jam sibuk pelajar Indonesia adalah antara pukul 07.00 pagi – 13.00 siang, di luar jam tersebut (termasuk jam-jam istirahat banyak di antara pelajar bergerombol, kongkow-kongkow sehingga mengundang keisengan yang pada gilirannya menjadi sebab awal perkelahian. Banyaknya waktu luang bagi para siswa tersebut besar kemungkinannya menjadi faktor yang menyebabkan bertingkah macam-macam. Dalam segi lain, kita menyaksikan (berdasarkan pengamatan penulis sendiri) bahwa kebanyak pelajar sekolah menengah sangat jarang dirangsang dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang sifatnya ilmiah, seperti diskusi antarsekolah dengan tema masalah-masalah sosial atau wawasan kebangsaan dan tema-tema yang bersifat studi perbandingan. Kegiatan ekstrakurikuler kebanyakan sekolah menengah dewasa ini nampaknya lebih banyak “dijejali” oleh aktivitas yang bersifat justeru menyulut keributan, seperti pertandingan olahraga, keseniaan, atau kegiatan lain “hura-hura” lainnya. Kegiatan olah raga dan kesenian tentunya baik, namun porsinya tak perlu berlebihan. Kondisi kurangnya kegiatan ilmiah tersebut sangat boleh jadi kurang “membuka” kerangka berfikir mereka. Wawasan sosial banyak “bermain” dengan emosi ketimbang dengan logika atau pikiran jernih.