Bagaimana Posisi Indonesia?
Hingga saat artikel ini diunggah, Indonesia secara resmi belum terjatuh ke dalam jurang resesi. Namun posisi Indonesia, sudah dapat dikatakan berada pada tubir jurang resesi ekonomi.
Dilihat dari definisi resesi ekonomi secara teknikal yang mensyaratkan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang negatif selama sedikitnya 2 (dua) kali beruturut-turut, maka Indonesia belum termasuk negara yang mengalami resesi. Indonesia masih mempunyai waktu selama satu bulan ini, yaitu September, untuk mengejar “mimpi” terbebas dari resesi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 yang mengalami kontraksi sebesar -5,32 persen, menjadi tonggak picu yang dapat menyandung langkah Indonesia terpeleset masuk jurang resesi.
Beberapa indikator ekonomi memperlihatkan kekhawatiran ekonomi Indonesia masih berpotensi memburuk pada kuartal III 2020. Sebagaimana terlihat pada data di bawah ini, PDB yang telah negatif pertumbuhannya di kuartal II 2020 hingga -5,32 persen, dengan penurunan pertumbuhan yang terjadi di hampir semua komponen, cukup menghawatirkan. Terutama untuk pengeluaran rumah tangga dan investasi atau PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) yang menurun signifikan, padahal kedua komponen ini menjadi motor utama dalam mendorong perekonomian Indonesia. Yang juga tidak kalah merisaukan adalah penurunan PDB menurut lapangan usaha yang terjadi pada industri penting, terutama industri manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja.
Indikator kasad mata lainnya yang memperlihatkan kelesuan ekonomi Indonesia tidak hanya terlihat pada masih relatif sepinya pusat-pusat perdagangan, bahkan penjualan sepeda motor dan mobil juga tampak negatif pertumbuhannya. Belum lagi dengan penanganan Covid-19 di Indonesia yang masih relatif tertinggal dengan banyak negara lain, dan penderita Covid-19 yang masih terus menanjak kurva penambahannya.
Kondisi tersebut mengkhawatirkan terhadap perbaikan ekonomi, mengingat faktor kesehatan menjadi syarat utama bagi upaya pemulihan ekonomi. Fakta lainnya seperti maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), sektor manufaktur yang menurun, serta lapangan kerja yang berkurang, juga menjadi kenyataan yang menambah besar potensi Indonesia masuk dalam jurang resesi ekonomi.
Pemerintah sedang berjuang dalam sisa waktu kuartal III 2020 ini untuk sekuat tenaga mendorong daya beli masyarakat melalui berbagai kebijakan. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah diperlonggar dengan tetap menjaga protokol kesehatan dengan tujuan agar roda ekonomi dapat berputar. Begitu pula anggaran untuk penanggulangan Covid-19 dan pemulihan ekonomi, telah ditambah hingga mencapai Rp 695,2 triliun.
Namun daya serapnya terhadap tambahan anggaran tersebut terlihat lambat, sehingga harus dicari berbagai upaya untuk mendongkrak daya beli masyarakat secara cepat. Upaya yang diharapkan mempunyai daya dongkrak cepat terhadap daya beli masyarakat adalah melalui Bantuan Sosial (Bansos), agar dapat menumbuhkan permintaan barang. Dengan demikian, sektor manufaktur atau pelaku usaha dapat berproduksi yang pada akhirnya bisa mendorong permintaan terhadap tenaga kerja.
Pemerintah telah memberikan berbagai Bansos dalam berbagai skema mulai dari paket sembako yang dikucurkan sejak awal pandemi Covid-19, Bansos Tunai, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, listrik gratis untuk pelanggan dengan daya tertentu, dan bantuan dalam program kartu prakerja. Bansos lainnya adalah subsidi gaji karyawan senilai Rp 600 ribu per bulan bagi karyawan dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan, serta BLT untuk UMKM senilai Rp 2,4 juta.
Kebijakan lainnya secara bersinergi terus dilakukan pemerintah. Termasuk dengan meminta pemerintah daerah untuk segera membelanjakan anggarannya agar terjadi peningkatan daya beli masyarakat. Upaya lainnya juga membantu dalam restrukturisasi kredit pelaku usaha serta kebijakan dalam upaya memperbaiki iklim usaha dan investasi dalam berbagai bentuk.
Namun resesi ekonomi global yang sedang melanda dan meluas ke berbagai negara dan kawasan, tidak mudah dapat dihindari dampaknya terhadap Indonesia. Dengan demikian, berbagai upaya pemerintah tersebut masih menghadapi tantangan yang amat sangat sulit, sehingga potensi untuk terjatuh dalam resesi ekonomi relatif besar.***