Dampak sosial sekaligus ekonomi juga terjadi akibat penutupan berbagai pasar hewan, sehingga makin menimbulkan kegelisahan sekaligus berkurangnya pendapatan peternak dan pedagang hewan ternak. Di Aceh Besar, Gresik, Sragen, dan berbagai tempat lainya misalnya, sudah relatif lama pasar hewan ditutup, sehingga yang biasanya menjelang hari raya Idul Adha terjadi peningkatan permintaan hewan ternak, kini tidak banyak yang bisa dinikmati peternak dan pedagang hewan ternak.
Dampak ekonomi berupa kerugian masyarakat peternak bahkan selama ini sudah dideritanya. Tidak sedikit peternak yang harus mengobati hewan ternaknya sendiri secara swadaya karena pemerintah tidak selalu atau tidak segera hadir dan tanggap terhadap PMK yang berkembang cepat di banyak wilayah akibat daya tularnya yang sangat cepat. Bahkan PMK bisa menular melalui udara (airborne) dari jarak yang disebut bisa menjangkau puluhan kilometer sehingga sangat cepat menular lintas-wilayah.
Apalagi sebagian besar peternakan merupakan peternakan rakyat, yang tidak berlebih kemampuan finansialnya. Karena itu secara ekonomi, aneka pengeluaran untuk berbagai upaya pengobatan hewan ternaknya secara mandiri, merupakan beban ekonomi yang terasa berat.

Tidak sedikit cerita pilu dari banyak peternak yang menyampaikan keluhannya yang harus berjuang sendiri tanpa bantuan pemerintah dalam menghadapi wabah PMK. Mulai dari harus menyemprotkan disinfektan terhadap aneka barang kandang dan peralatan peternakannya, hingga harus membeli aneka vitamin, antibiotik, dan obat kesehatan lainnya untuk hewan ternaknya. Banyak pula yang dengan keterbatasan ekonominya, peternak menyiasatinya dengan aneka ramuan rempah-rempah untuk menjaga kekebalan tubuh hewan ternaknya, serta berbagai upaya lainnya yang menimbulkan konsekuensi biaya yang tidak sedikit.
Kerugian nyata secara ekonomi bahkan tidak berhenti hingga disitu. Kerugian di tengah-tengah masyarakat peternak jelas berupa menyusutnya bobot hewan ternak secara signifikan akibat terjangkit PMK. Hewan ternak tidak mau makan, lemas, lunglai, yang tidak jarang berujung pada kematian akibat gerogoti oleh penyakit atau virus PMK.
Bahkan jika berhasil disembuhkan pun, untuk mengembalikan ke bobot semula memerlukan waktu yang tidak singkat. Jika harus berujung pada kematian hewan ternak, terutama sapi yang memiliki harga relatif tinggi, maka kerugian peternak amat sangat terasa beratnya.
Jika harus dijual dengan kondisi kurus, maka penurunan harga sapi menjadi kerugian yang tak terelakkan. Bahkan dalam situasi yang serba tidak pasti terkait penanganan PMK ini, penurunan harga ternak tidak hanya akibat penyusutan bobot alias kurusnya hewan ternak. Faktor lain berupa kekhawatiran, ketakutan, dan kepanikan peternak terhadap kemungkinan makin ganasnya PMK, juga mendorong minat menjual cepat sapinya.
Hal tersebut mempengaruhi anjloknya harga hewan ternak yang berkontribusi pada kerugian ekonomi. Banyak spekulan atau pedagang yang memanfaatkan situasi “keruh” ini, untuk mendapatkan keuntungan dari kepanikan peternak.
Kepanikan peternak mempengaruhi keputusan untuk menjual murah sapi atau hewan ternaknya. Peternak tidak ingin kerugian yang lebih besar menimpanya jika kasus PMK tidak bisa dikendalikan.
Panic selling atau kepanikan menjual dengan harga murah atau merugi tersebut berimbas pada harga hewan sehat secara keseluruhan yang turut tertekan anjlok, dengan dalih untuk menghindari kerugian yang lebih besar jika terjangkit PMK yang lebih parah. Karena itu, kerugian secara ekonomi diperkirakan akan relatif luas.
Menteri Pertanian memperkirakan bahwa kerugian negara akibat PMK mencapai Rp 9,9 triliun baik akibat penurunan bobot hewan ternak, penurunan produktivitas, dan kematian hewan ternak. Tentu saja ukuran kerugian ekonomi tidak bisa hanya diukur dari beberapa faktor tersebut. (bersambung ke bagian 2)
Konten ini dapat dikutip, atau dipublikasikan ulang, dengan mencantumkan sumber nadinarasi.com