Aksi Mogok dan Masa Depan Pekerja

NADINARASI.COMPengantar: Kasus pemogokan kerja tampaknya menjadi permasalahan yang terus “hidup” sepanjang masa, terutama selama pencapaian kesepakatan antara pekerja dan pengusaha menemui titik buntu, dan tidak dapat dijembatani oleh pemerintah. Bahkan jika pekerja merasa terus berada pada posisi yang “terancam”, maka mogok kerja dan aksi-aksi sejenisnya sebagai bentuk perlawanan dari pekerja, tampaknya akan sulit dibendung. Aksi pekerja yang saat ini terjadi, terutama terkait dengan penolakan Omnibus Law untuk UU Cipta Kerja misalnya, juga tidak jauh “aromanya” dari perjuangan normatif para pekerja yang menuntut untuk tidak diposisikan sebagai pihak yang lemah dalam berbagai aspek. Kondisi semacam ini pun terjadi sejak lama, termasuk pada dekade 1990-an, sebagaimana telah saya tulis di Harian Pikiran Rakyat, Bandung, pada 10 Oktober 1991 silam di bawah ini.

Kliping artikel "Aksi Mogok dan Masa Depan Pekerja" yang dimuat di Harian "Pikiran Rakyat" edisi 10 Oktober 1991

  • Oleh Kusnadi –

TUNTUTAN kesejahteraan di kalangan pekerja saat ini tampak kian “santer” terjadi. Hal itu terbukti dengan meningkatnya frekuensi aksi mogok yang akhir-akhir ini bertambah sering, bahkan semakin brutal. Alasannya tak bisa dibantah memang, karena mereka punya masa depan. Masa depan yang bahagialah yang ingin mereka capai, guna bisa hidup sebagaimana layaknya.

Bacaan Lainnya

Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh Presiden Soeharto tentang masalah kesejahteraan kaum pekerja pada Pidato Pembukaan Konferensi Regional ke-9 Asosiasi Lembaga-lembaga Jaminan Sosial Internasional (ISSA) kawasan Asia-Pasifik di Istana Negara (23 September 1991) yang lalu. Menurut Presiden, bagi pekerja, sekalipun penghasilannya baik, itu tidaklah cukup. Masih diperlukan rasa tenteram dan bergairah dalam bekerja.

Guna mewujudkan hal tersebut, tak bisa lepas atas tercukupinya kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi serta perlindungan yang dapat menjamin kelangsungan hidup pekerja. Ironisnya, selama ini untuk mencukupi tingkat kebutuhan hidup yang minimum saja, masih sulit mereka jangkau.

Kenyataan tesebut disebabkan oleh karena relatif kecilnya penghasilan pekerja yang bagi sebagian pekerja jauh tak sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan guna mencukupi kebutuhannya. Bahkan dengan kerja keras yang overtime pun masih juga tak bisa berbuat banyak guna memperbaiki kondisi hidup mereka. Penyebabnya disamping karena ketentuan upah minimum pekerja yang sebenarnya sudah tidak manusiawi, ditambah dengan masih banyaknya pengusaha yang terkadang “bandel” dalam memenuhi ketentuan upah tersebut.

Di sisi lain, kesadaran dan ketanggapan pengusaha terhadap tanggungjawabnya sebagai pelindung terhadap pekerja juga masih kurang. Kondisi semacam inilah yang acapkali bisa menjadi “penyulut” berkobarnya aksi mogok.