“BALA” dan LABA Corona bagi Industri (bagian 2)

Dunia Pendidikan Krisis Guru Kompeten PJJ

Tak terkecuali, di bidang pendidikan juga dirundung petaka yang dapat mengancam anak didik hak belajar yang ideal dan maksimal. Permasalahan utamanya adalah minimnya tenaga pengajar atau guru yang “melek” atau paham teknologi pendidikan jarak jauh (PJJ) sehingga kualitas pendidikan menjadi rendah jika pandemi Covid-19 ini berlangsung lama. Di sisi lain , pandemi Covid-19 ini , juga mengakibatkan berbagai usaha atau bisnis di bidang pendidikan dan industri perlengkapan pendukungnya juga mengalami penurunan aktivitas.

Dampak lebih lanjut juga dapat menurunkan kualitas penididikan anak didik. Guru di seluruh Indonesia yang siap atau mampu dengan proses PJJ sangat terbatas jumlahnya. Sebagian penyebabnya adalah relatif minimnya kemampuan sebagian besar guru dalam menggunakan teknologi maupun tidak dipersiapkannya mereka untuk melakukan PJJ sebelumnya, semua menambah parah kualitas pendidikan Indonesia di tengah pandemi Covid-19.

Bacaan Lainnya
Industri dan kualitas pendidikan anak, berpotensi memburuk

Menurut survei yang dilakukan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bekerjasama dengan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dalam rangka evaluasi PJJ selama adanya Covid-19, diketahui hanya 8 persen guru di Indonesia yang paham atau terbiasa menggunakan gadget atau gawai untuk pembelajaran jarak jauh.

Hal ini mengkhawatirkan kondisi pendidikan di Indonesia jika pandemi Covid-19 ini tidak segera berlalu atau dapat secepatnya diatasi. Bahkan pendidikan di pedesaan yang belum tersentuh teknologi atau daerah yang kurang mampu secara ekonomi, akan mengalami kevakuman pendidikan jika tidak dilakukan terobosan untuk menjangkau anak didik agar tidak terancam masa depannya. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO menyatakan bahwa sekitar 300 juta siswa di dunia terganggu kegiatan sekolahnya sehingga akan kehilangan hak-hak pendidikan mereka di masa depan.

Usaha pendidikan yang mengandalkan tatap muka seperti kursus, balai latihan kerja, pendidikan non-formal lainnya termasuk pendidikan pra-usia belajar, juga terancam gulung tikar. Mulai dari Bimbingan Belajar anak usia dini, kursus vokasi berbagai bidang, hingga lembaga pelatihan, serta bimbingan profesi baik melalui workshop maupun seminar harus berhenti hingga waktu yang belum pasti. Semua ini akan menimbulkan kerugian dari berbagai sisi, mulai dari sisi peningkatan kualitas sumber daya manusia, maupun kerugian berupa hilangnya pekerjaan dan sumber pendapatan dari para pendidiknya.

Perdagangan Sepi di Berbagai Segmen Pasar

Kerugian yang lebih hebat lagi terjadi pada bidang jasa Perdagangan, yang mengalami penurunan pengunjung dan omzet pada berbagai segman pasar retail dan grosir, mulai dari pertokoan kecil, pusat perbelanjaan menengah, hingga hyermarket mengalami kelesuan. Penyebabnya tidak hanya akibat anjloknya daya beli masyarakat, tapi juga rasa takut bepergian, hingga berbagai pembatasan gerak masyarakat oleh kebijakan pemerintah, maupun inisiatif kelompok masyarakat di berbagai wilayah. Demikian pula dengan perdagangan luar negeri (ekspor) juga mengalami penurunan yang signifikan. Perdagangan luar negeri atau ekspor tertekan akibat terganggunya permintaan dan lalulintas barang secara global.

Di dalam negeri, sebelum diberlakukan social/physical distancing berbagai pusat perbelanjaan berbagai jenis produk sudah memperlihatkan penurunan jumlah pengunjung. Selanjutnya ditambah lagi dengan diberlakukannya PSBB yang menutup hampir semua mal atau pusat perbelanjaan di berbagai wilayah yang memberlakukan PSBB. Hanya kebutuhan pokok (bahan pangan, makanan, minuman) yang tidak banyak terpengaruh karena masuk dalam 11 sektor yang masih diperbolehkan beroperasi ketika PSBB diberlakukan.

Pusat perbelanjaan di hampir semua kota SEPI

Per Maret 2020, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) telah melaporkan jumlah pengunjung ke pusat perbelanjaan atau mal-mal di seluruh Indonesia turun drastis akibat Covid-19,  hingga 90 persen. Kondisi serupa dilaporkan oleh Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) yang menyebutkan bahwa sampai dengan awal April 2020, penjualannya turun hingga 90 persen dan memaksa peritel menutup gerainya. Hal ini dapat menyebabkan tertekannya cashflow dan mengancam kebangkrutan.  

Perbankan dan Jasa Keuangan dibayang-bayangi Kredit Macet

Di bidang Perbankan, termasuk Jasa Keuangan, dapat menghadapi kesulitan yang memerlukan kewaspadaan dan kreativitas solusi. Setidaknya dari sisi pengembalian kredit, berpotensi besar dapat mengalami kemacetan jika tidak secara hati-hati mengambil keputusan. Kemampuan nasabah dalam mengelola usahanya banyak mengalami hambatan sehingga dalam mengembalikan kredit akan berkurang seiring dengan potensi turunnya atau berhentinya usaha, bahkan untuk nasabah perorangan juga terancam kehilangan pekerjaan yang selama ini menjadi sumber penghasilannya. Bahkan terdapat perkiraan ekstrim bahwa terdapat potensi mayoritas kredit akan macet akibat dampak Covid-19 yang melumpuhkan banyak sektor usaha ini.

Dari sisi pengembangan kredit, dalam situasi serba tidak pasti akibat pandemi Covid-19 ini, maka aktivitas pembiayaan atau investasi baru akan merosot, bahkan berhenti, hingga waktu yang tidak pasti. Dengan demikian, produktivitas dana yang dikelola oleh lembaga keuangan, baik bank, leasing, asuransi, dan jasa keuagan lainnya, dapat melemah. Hal ini dapat berpotensi menimbulkan kesulitan likuiditas dan insolvensi, yaitu ketidakmampuan membayar utang tepat waktu atau keadaan yang menunjukkan jumlah kewajiban melebihi hartanya.

Perbankan dan jasa keuangan terancam masalah kredit macet

Sektor Manufaktur juga Terbentur

Diperkirakan masih banyak industri di sektor jasa yang mengalami tekanan serius akibat pandemi Covid-19. Bahkan kemalangan tak terduga atau “bala” yang tidak kalah berat dialami pula oleh sektor manufaktur yang terbentur banyak persoalan.

Tekanan di sektor manufaktur tidak hanya terbentur pada daya beli masyarakat yang melemah sehingga berdampak pada nilai penjualan produk yang akan turun. Di sisi lain, hambatan pasokan bahan baku dan perdangangan ekspor, serta perdagangan di dalam negeri yang terganggu oleh pembatasan wilayah yang banyak dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah atas inisiatif warga setempat, maupun kebijakan PSBB pemerintah daerah juga menyulitkan kegiatan distribusi barang dan pemenuhan bahan baku. Berbagai kesulitan yang menerpa industri manufaktur, telah mengancam kelangsungan usaha banyak pelaku usaha, bahkan tidak sedikit industri padat karya yang harus melakukan pemutusan hubungan kerja ribuan karyawannya. (bersambung ke bagian 3)

Pos terkait